Sunday, January 30, 2011
Transformasi
Saturday, January 29, 2011
Nostalgia di Hujung Senja
Kutatap, kujabat, kudakap erat
Tubuh-tubuh berbalut kulit mengeriput
Memutih dari rambut ke janggut
Dapat kurasakan hangatnya setiakawan
Tiga dekad sepakat setekad
Bersama terhumban di padang karang
Tersadai diamuk badai
Ku tatap wajah-wajah teman lama
Ketika mata pudar berkisar mengitar dari meja ke meja
Terasa ada yang tiada
Kutanyakan khabar rakan-rakan seangkatan yang tak kelihatan
Si Suto dan Si Noyo, Si Awang dan Si Ujang
Si Dali dan Si Mamat
Katanya
Si Suto hilang tak tahu rimbanya
Si Noyo ghaib entah di mana nisannya
Si Awang sibuk mendulang wang
Mahu jadi jutawan gedongan
Pemilik dagangan bergudang-gudang
Si Mamat tak sempat
Terlalu penat kerja kuat, mahu jadi Yang Berhormat
Sudah empat kali lompat
Belum juga dapat Mana
Si Ujang
Yang dulu memencak-mencak membela keadilan?
Katanya: Si Ujang tak dapat datang
Kini dia berada di seberang
Jalan-jalan cari makan
Bagaimana dengan Si Embong?
Katanya, dia masih berkabung
Menangisi isterinya, Dewi Demokrati
Yang baru mati
Dibelasah hantu pangkah
Apa khabar Si Fatah?
Alhamdulillah, dia tidak berubah
Masih betah berusrah
Pejam dalam al-Fatihah
Celik kembali dengan wa’l-‘asri Mana
Si Dali
Orang kuat yang dulu mendapat pingat
Wira Sakti, Panglima Besi
Katanya, Si Dali uzur lagi
Kencing manis, darah tinggi
Saban minggu ke KBMC
Mana Si Wira?
Aku rindu bicaranya yang selalu menggetar jiwa
Katanya: setelah bersengketa dengan Mamak Bendahara
Si Wira pergi bertapa
di Gua Panjaraga
berguru di Hulu Sungai Bambu
Nanti Wira kan kembali
Dan pasti lebih sakti lagi …..
II
Detik-detik nostalgik
Memecah tawa-tangis printis
Yang lama membeku terbuku
Dalam kelu lidah sejarah
Kutatap wajah-wajah layu
Teman-teman lamaku: mahaguru dan KSU
Pembesar bergelar, figure tersohor
Ingin rasanya aku bertanya
Masihkah kau ingat asal-usulmu?
Anak kampung paling hulu
Merangkak ke gedung ilmu bernama M.U
Diiringi doa orang tua yang bangga
Dibebani harapan warga desa yang sengsara
Mahasiswa pemimpin hari muka
Cendekia dalam pustaka pujangga
Dewasa dalam gelora demo di jalan raya
Akdemia, semangat agama merbah anak desa
Menjadi “ elemen yang sedar dari masyarakat”
Jurubicara umat, penyuara aspirasi rakyat
Kau bangkit bersama mahasiswa menggugat
Pengkhianat dan penjilat
Masih terasa perihnya prasangka, pedihnya telinga
Dituduh penderhaka
Anak muda tak kenang jasa
Mempersenda “Bapak Merdeka”
Peduli apa kata derhaka yang sudah lama hilang bisa
Sejak ternodanya makna
Menjadi senjata penguasa menindas jelata
Membangkang bukan menanggang
Mendebat bukan menjebat Ingin rasanya kupinjam suara raksasa
Mendeklarasi derhaka versi kita
Derhaka kita jihad mulia
Dari setia menjadi hamba, biar derhaka demi merdeka
Dari setia seperti Haman, biar derhaka sebagai Musa
Kutatap wajah-wajah istiqamah
Tak tergoyah dek duit berkampit
Tak patah dek kenyit dan gamit si genit
Meski di sini banyak dera dan deritanya
Kita tetap setia
Warga bertaqwa bahagia di bumi derita
Tetapi mewah dengan barakah, meriah dengan ukhuwwah
Dari pita nostalgia memori pagi
Kini kita tiba di senja penuh hiba
Ketika ufuk senja memerah
Tanda mendekatnya saat berpisah
Aku resah dalam gelabah muhasabah
Setitik jasa, selaut dosa
Seakan kulihat malaikat mencatat
Kalimat-kalimat sinis menghiris
Dasar si dungu tak tahu malu
Modal amal sekepal, mengharap untung segunung
Usia senja, menjadi pesara
Bukan masa lega merdeka
Puas melepas, menghempas tugas yang digalas
Ia adalah masa cedera yang cemas
Sisa-sisa nafas di simpangan arah
Husnu’l-khatimah-su’u ‘l-khatimah
Hari kita semakin senja
Segudang agenda tak terlaksana
Mengharap pewaris setia
Penerus cita-cita, penebus kecewa
Tapi, di mana mereka?
Ya Tuhan,
Dengarkan pinta hamba di hujung senja
Seperti dulu Kau perkenan do’a Zakariya
Pengabdi tua meminta putera
Lalu Kau kurniakan Yahya
Sayyida, hasura, nabiyya Ya Tuhan,
Berkenan kiranya mencurah kurnia
Seribu Yahya, sepetah Harun, segagah Musa
Menyanggah bedebah media pendusta
Mendaulat agama, memperkasa bangsa
Dato Dr. Siddiq Fadzil